Sepenggal Sejarah Lampung
KHOIRI RUJUNGAN berkisah LAMPUNG
Lampung disebut semboyan "Sang Bumi Ruwa Jurai" artinya tanah lampung dihuni oleh dua aliran budaya yaitu :
1. Aliran budaya Adat Pepadun yang menganut sistim Demokrasi. Artinya, kedudukan kepenyimbangan adat dapat dibagi-bagi atau disandang oleh siapapun sepanjang yang bersangkutan dapat memenuhi syarat yang ditentukan oleh hukum adat setempat.
Adat Pepadun mendiami aliran sungai Tulang Bawang, Way Seputih dan aliran Way Sekampung dari kuala sampai kehulu, istilah desanya disebut Anek dan Tiyuh, yang menggunakan istilah anek adalah Abung Siwo Mego dan Pubian Telu Suku. Sedangkan istilah tiyuh digunakan oleh Tulang Bawang, Way Kanan dan Sungkai, maka dapat diketahui bahwa Adat Pepadun yang demokrasi adalah adat budaya yang dipakai oleh Lampung Abung Siwo Mego, Pubian Telu Suku, Tulang Bawang, Way Kanan dan Sungkai.
2. Aliran budaya Adat Saibatin adalah adat budaya yang menganut sistim Kepenyimbangan Turun Menurun (menganut sistim kerajaan), tempatnya mendiami tepi pantai disepanjang mulai dari kota Liwa sampai kota Kalianda tidak menyebrang kuala Way Sekampung, orang saibatin disebut juga orang peminggir istilah desanya Pekon.
TULANG BAWANG
Tulang Bawang/Lampung sebelum hindu masuk ke Indonesia maka didaerah ini telah ada sesuatu pemerintahan yang demokratis dengan bentuk marga (Achjarani Alf,1954: 5-6). Maka dapat diketahui bahwa sebelum abad ke-4 M dilampung sudah ada pemerintahan yang demokrasi dengan bentuk Marga.
Dalam catatan Cina kuno misalnya disebut bahwa abad ke-4 M seorang peziarah agama Budha bernama Fa-Hien, dalam perjalananya menuju India pernah singgah dikerajaan To-Lang-Po-Hwang (Tulang Bawang) di selatan bahkan menurut ahli sejarah Dr.J.W Naarding diperkirakan pusat kerajaan Tulang Bawang terletak dihulu way Tulang Bawang antara Menggala dan Pagar Dewa kurang lebig dalam radius 20 Km dari pusat kota menggala saat ini.
Tulang Bawang sepanjang cerita dari mulut kemulut keturunnya akan mendewa-dewakan riwayat nenek moyang masing-masing setiap kampung, namun perlu diketahui dimasa pemerintahan Belanda sejak tanggal 22 November 1808 Lampung resmi menjadi jajahan Belanda yang kemudian pemerintah Belanda melegalkan pemerintahan Marga, dimana Tulang Bawang dibangun Pasirah Marga Buai Bulan, Pasirah Marga Tegamoan, dan Pasirah Marga Suay Umpu. Baru menyusul tahun 1914 berdirinya Pasirah Marga Aji.
Untuk itu Tulang Bawang disebut Mego Pak Tulang Bawang yang kemudian berdiri Pasirah Marga Buay Bulan Udik sehingga Tulang Bawang Empat Marga Lima Pasirah. Dalam hal ini dapat kita sadari dibangunnya pemerintahan Marga karena Lampung sebelum abad ke-4 M. Memang memiliki pemerintahan demokrasi yang berbentuk marga.
Untuk mengulas keberadaan Tulang Bawang dimasa lampau yang telah ada sebelu Hindu masuk ke Indonesia maka dari buku sejarah dapat diketahui bahwa tahun 683 M – 1377 M adalah masa kerajaan Sriwijaya Palembang sejak itu Tulang Bawang dibawah naungan kerajaan Sriwijaya, tahun 1293 M – 1522 M adalah masa kerajaan Majapahit Tulang Bawang Lampung dibawah naungan kerajaan Majapahit (Negara Kertagama oleh Prof. Dr. Slamat Mulyana 1979 Pupuh/Pasal XIIl). Selanjutnya mulai tahun 1550 M – 1692 M adalah masa kerajaan Banten dimana Tulang Bawang khususnya menjadi bawahan kerajaan Banten, yang selanjutnya Tulang Bawang Lampung jadi jajahan Belanda yang telah melegalkan pemerintahan Marga di Lampung dimana Lampung terdiri dari 62 marga teritorial.
Setelah Republik berdasarkan ketetapan Residen Lampung tahun 1952 pemerintahan Marga dihapus menjadi pemerintahan Negeri sehingga masyarakat Lampung kehilangan pemerintahan Adat Marga yang ada hanyalah Marga Adat/Genologis (berdasarkan keturunan), dimana istilah negeri adalah istilah yang terdapat dimasyarkat Minangkabau (Penjelasan Alinia II Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945).
Tahun 1997 Pemerintah melahirkan kabupaten yang bernama Tulang Bawang mekar dari kabupaten Lampung Utara, dalam hal ini dapat kita maknai bahwa pemerintah menginginkan lestarinya sejarah, adat, seni, dan budaya warisan kejayaan Tulang Bawang dimasa lampau.
warisan Tulang Bawang masa kejayaan mewariskan tiga warna payung agung antara lain, Payung Agung bewarna merah yang memang terdapat di Tulang Bawang sebagai ragam hias kepala suku, Payung Agung berwarna kuning sebagai hasil hubungan Tulang Bawang dengan Tiongkok sebagai ragam hias kepala Tiyuh, dan payung Agung berwarna putih sebagai hasil hubungan Tulang Bawang dengan kerajaan Banten sebagai ragam hias kepala Marga (Inmendagri Nomor 17, 1980 : 16-17 Tulang Bawang) dan tahun 1999 pemerintah melahirkan kabupaten Way Kanan, tinggal diwilayah aliran way kiri aliran kiri artinya aliran sesat.
Sejak lahirnya kabupaten Tulang Bawang untuk memperhatikan keberadaan Tulang Bawang masa lampau ada baiknya kita menelusuri way Tulang Bawang kehulu hingga situs batu berak Lampung Barat. Yang disebut way Tulang Bawang ialah mulai dari kuala (Dente Teladas) hingga ke Cakat Menasow – Pekalan Rarem (Pagar Dewa), dari Pagar Dewa hingga Pakuan Ratu disebut Way Kanan, dari Pakuan Ratu bercabang dua yang ke kanan disebut Way Umpu, dari Pakuan Ratu hingga Gunung Terang disebut Way Besai, dari Gunung Terang kehulu disebut Way Tenong. Dari pagar Dewa hingga Negeri Ujung Karang disebut Way Kiri, dari Negeri Ujung Karang kehulu disebut Way Rarem, cabangnya antara lain Way Sungkai dan Way Abung bermuara ke Way Rarem.
Rarem adalah bahasa Lampung abung yang artinya hilir (Bahasa Tulang Bawang = Lebow), bertalian dengan nama sungai yaitu Way Rarem dalam hal ini mengapa Way Hilir adanya di Hulu dan Rarem ditujukan kepada moyang yaitu Minak Ratu Guruh Malay yang bermakam ±100 Meter dihilir dam Way Rarem Pekurun Kota Bumi.
Tulang Bawang yang telah dijadikan nama kabupaten sebagai sebuah nama kekuasaan yang pernah ada di Lampung terdiri dari empat marga dan sejak tahun 1997 pula tim Arkeologi Bandung telah melakukan penelitian Arkeologi disepanjang aliran Way Tulang Bawang ke Hulu, sehingga dinyatakan bahwa sebutan Tulang Bawang sangat mungkin untuk Benteng Sabuk. Keberlangsungan aktivitas masa lalu di Benteng Sabuk terjadi dalam dua fase, fase pertama berkisar pada abad ke-3 dan fase kedua pada abad ke-7 hingga ke-17, diantara kedua fase ini terdapat masa kemunduran (Mosaik Arkeologi, 2003 : 109-110), maka dalam hal ini kita mengkaji keberadaan Tulang Bawang diperlukan kajian historis masyarakat adat marga buay bulan udik tepatnya di Tiyuh Gunung Katun Tanjungan sebagai salah satu silsilah Putri Bulan yang menurunkan masyarakat Gunung Katun Tanjungan, sebagai penguasa Benteng Sabuk Bujung Menggalo yang kemudian masyarakatnya mendirikan Menggala ibukota kabupaten Tulang Bawang kemudian mendirikan Menggala Mas dihilir Panaragan.
Dari buku kedatuan di Gunung Keratuan di Muara 1988 oleh Abdullah A Subing BA halaman 19 disebutkan bahwa Datu Dipuncak bersama empat orang anaknya dan seorang anak angkatnya bernama Bulan serta para pengikutnya dalam perjalanan perpindahan mereka sampai dan berhenti di Canguk Raccak dekat Way Rarem, maka dapat diketahui bahwa Putri Bulan yang menurunkan masyarakat adat Buay Bulan Tulang Bawang adalah anak angkat Datu Dipuncak, empat orang anak Datu Dipuncak adalah Unyai gelar Minak Trio Deso, Unyi, Subing dan Uban, untuk Putri Bulan menikah dengan KunTunggal atau Junjungan atau Ki Buyut Suro Menggolo dari Jawa yang keturunannya mendirikan tiyuh Gunung Katun Tanjungan, dimana kata Katon artinya dalam bahasa Jawa yaitu kelihatan (Sandra Tari Putri Bulan TMII, 2005).
Dalam riwayat Marga Buay Bulan terdapat nama moyang Minak Kemala Kota bersahabat dengan Minak Trio Deso Marga Buay Nunyai Abung Siwo Mego, maka dimasa kedua moyang tersebut yang berkuasa dihulu sungai adalah Minak Trio Deso dan yang dihilir adalah Minak Kemala Kota. Dalam hal ini terlihat adanya istilah desa dan kota dalam istilah Jawa maka dapat diduga masa inilah adalah masa kerajaan Majapahit Jawa Timur. Dimasa Minak Kemala Kota dan Minak Trio Deso datanglah Minak Ratu Guruh Malay atau Moyang Rarem, masuk ke Tulang Bawang menemui Minak Kemala Kota mendapat tempat yang disebut Bujung Malay dan moyang Minak Ratu Guruh Malay bermakam diwilayah Lampung Abung dam Way Rarem. Keturunannya adalah masyarakat adat Gedung Ratu dan Gunung Katun Malay Marga Buay Bulan artinya keturunan Minak Ratu Guruh Malay menyatu dengan keturunan Putri Bulan.
Minak Kemala Kota menurunkan Tuan Rio Nyembang Luih, kemudian menurunkan Minak Kemala Puta, kemudian menurunkan Minak Sendang Belawan yang bermakam ditepi Benteng Sabuk Gunung Katun Tanjungan, kemudian menurunkan Minak Rio Bacau, Minak Rio Mas, dan Minak Temenggung, Minak kemala kota selain menurunkan Tuan Rio Nyembang Luih juga yang disebut Senamo dan Bulan, Senamo menikah dengan Moyang Runjung gelar Minak Tabu Gayaw menurunkan Tuan Rio Mangku Bumi di Pagar Dewa mewarisi Tanah, Tuan Rio Tengah di Menggala mewarisi senjata dan Tuan Rio Sanak di Panaragan mewarisi Emas. (Hi. Assa’ih Akip,1976:6).
Dimasa Tuan Rio Mangku Bumi Pagar Dewa kekuasaan Minak Kemala Kota (Buay Bulan) pindah ke Tuan Rio Mangku Bumi (Pagar Dewa) Marga Tegamoan, dimasa Tuan Rio Mangku Bumi, Tuan Rio Mangku Bumi pernah menyerang Palembang dengan panglima perangnya Minak Tebesu Rawang dan Minak Cekay dilangik, Penyerangan ini Tuan Rio Mangku Bumi tertawan di Palembang dan pembelaannya dilakukan oleh anaknya Minak Kemala Bumi. Tuan Rio Sanak di Panaragan menurunkan Minak Indah Minak Mekedum dan Minak Raja Ratu, dimasa Minak Kemala Bumi Pagar Dewa beliau mengajak tokoh dari Way Kanan, dari Sungkai Bunga Mayang dan dari Abung menghadap kerajaan Banten, sekembalinya dari kerajaan Banten keempat orang tersebut mendapat gelar sebagi berikut:
1. Minak Kemala Bumi dari Pagar Dewa Tulang Bawang mendapat gelar Adipati Prajurit (Adipati=Bupati)
2. Dari Way Kanan mendapat gelar adipati amangkurat
3. Dari Sungkai mendapat gelar Adipati Wira Bumi
4. Dari abung Sewo Mego yaitu Minak Paduka mendapat gelar adipati Juru Mumbang.
Minak Peduka adalah silsilah keturunan dari Datu Dipuncak, menurunkan Minak Trio Deso, Menurunkan Minak Penatih Tuho, Menurunkan Minak Semalasem, Minak Semelasem menikah dengan putri minak sutan karta Buay Bulan menurunkan minak Paduka yang bergelar adipati juru mumbang dari kerajaan Banten.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa dimasa empat adipati diatas masyarakat Adat Lampung Pepadun diperintah oleh empat adipati dimasa Islam dimana Tulang Bawang masa kerajaan Banten ada ditangan Adipati Prajurit atau Minak Pati Prajurit, sedangkan masa Hindu Majapahit Tulang Bawang berada ditangan Minak Kemala Kota Marga Buay Bulan. Dan jangan lupa bahwa sebelum disebut Pagar Dewa wilayah tersebut disebut Cakat Menaso-Pekalan Rarem. Pekalan bahasa Tulang Bawang adalah tempat mandi, sedangkan Rarem ditujukan pada Minak Ratu Guruh Malay, maka dapat diketahui bahwa sebelum adanya pemukiman Pagar Dewa wilayah tersebut tempat mandi Minak Ratu Guruh Malay.
Dimasa empat adipati tersebut diatas terjadi peristiwa Minak Indah bin Tuan Rio Sanak Panaragan tewas oleh senjata tombak Minak Paduka Nunyai, kemudian kepala Minak Indah dipenggal dirayakan sebagai tanda kemenangan Abung Siwo Mego Pubian Telu Suku hadir dalam perayaan 18 Kebuayan yaitu:
Abung Siwo Mego
1. Buay Unyai
2. Buay Unyi
3. Buay Subing
4. Buay Uban
5. Buay Bulan
6. Buay Beliuk
7. Buay Kunang
8. Buay Selagai
9. Buay Anak Tuha
10. Buay Nyerupa Way Seputih
Pubian Telu Suku
11. Suku Menyerakat
12. Suku Tumbo Pupus
13. Suku Buku Jadi
14. Sumbai Perjo (Sungkai)
15. Sumbai Pemuku (Way Kanan)
16. Sumbai Bahuga (Way Kanan)
17. Sumbai Tegamoan (Tulang Bawang)
18. Sumbai Suway Umpu (Tulang Bawang)
Catatan suatu saat Buai Bulan dikucilkan dari Abung Siwo Mego, kedudukannya diabung diduduki oleh Buay Nyerupa Way Seputih, Buay Bulan menyatu dengan Sumbai Tegamoan dan Suay Umpu di Tulang Bawang.
Minak Indah tewas karena dianggap sombong dan melanggar adat, pada saat orang akan meminang anak gadisnya Minak Indah mengajukan syarat si Peminang harus menyerahkan Emas sberat badan gadis yang bersangkutan.
Pada saat pesta merayakan kemenangan berlangsung kepala Minak Indah berhasil direbut kembali oleh Prajuri Putinggelang dan Minak Raja Malaka kemudian kepala Minak Indah dimakamkan di Panaragan. Sejak itu, Panaragan tempat bertapa diwilayah Way Kiri Tulang Bawang dijadikan pemukiman oleh keturunan moyang-moyang sebagai berikut:
1. Suku adat Tepuk Darat, moyang asalnya Minak Indah, Minak Rio Begeduh, dan Alam Dawer.
2. Suku adat Tepuk Leban moyang asalnya Minak Mekedum dan Minak Raja Ratu.
3. Suku adat Bujung moyang asalnya Minak Sang Menteri, seasal dengan moyang Bandar Dewa, Minak Sang Menteri adik Minak Patih Prajurit Pagar Dewa.
4. Suku adat Lambow moyang asalnya Minak Raja Malaka
5. Suku adat Tepuk Gabow moyang asalnya Prajurit Putinggelang.
Dimana Minak Raja Malaka bermakam ditepi danau lambu Pagar Dewa Way Kanan, sedangkan Prajurit Putinggelang bermakam diwilayah Bujung Malay Gunung Katun Malay yang disebut Keramat Munggu. Maka dapat diduga pada masa hidupnya Minak Raja Malaka dan Prajurit Putinggelang danau lambu Way Kanan menuju Bujung Malay Gunung Katun Malay (Marga Tegamoan-Marga Buay Bulan) merupakan radius inti bagi minak Raja Malaka dan Prajurit Putinggelang.
Keramat Munggu terdiri dari makam moyang Prajurit Putinggelang, Minak Meretah Dibumi dan Minak Kemala Adam bin Minak Ratu Guruh Malay, lebih jelasnya dimasa Minak Meretah Dibumi bin Minak Kemala Adam bin Minak Ratu Guruh Malay datang tujuh Prajurit yaitu:
1. Prajurit Ngelah Kelah berkedudukan di Sukadana Sungkai
2. Prajurit Tegi Balang berkedudukan di Negeri Ujung Karang
3. Prajurit Mecak Padan (berkedudukan di Karta)
4. Prajurit Mas Cacap (berkedudukan di Karta)
5. Prajurit Tejang Tanggai (berkedudukan di Karta)
6. Prajurit Tejang Buwok berkedudukan di Gunung Katun Malay
7. Prajurit Putinggelang berkedudukan di Panaragan.
Dari ketujuh prajurit tersebut diatas yang bermakam diwilayah Bujung Malay yaitu Minak Ratu Guruh Malay pemberian Minak Kemala Kota adalah Prajurit Putinggelang, maka dapat diduga Prajurit Putinggelang memiliki nilai tambah apabila dibandingkan dengan prajurit lainnya.
Adapun perjuangan prajurit Putinggelang selain meletakkan makam Minak Indah di Panaragan bersama Minak Raja Malaka juga telah berjuang mempertahankan Benteng Sabuk pusat Tulang Bawang bersama Minak Meretah Dibumi atas intervensi nenek moyang Gunung Terang. (Jelajah Masalalu, 2002: 86-101) tentang Hubungan Fungsional Situs Benteng Sabuk, Benteng Prajurit Putinggelang dan Keramat Gemol).
Dimasa pemerintahan Belanda dan Jepang terbitlah Peta Sumatera Selatan lembar 30 yang berjudul Gedung Ratu Tahun 1915, 1930, dan 1942. Tampak jelas dalam tiga peta tersebut ternyata makam Minak Indah Panagaran yang tewas oleh Tombak Minak Paduka Nunyai beberapa abad silam ditulis bukan keramat Minak Indah tapi ditulis Keramat Gemol, Gemol bahasa Tulang Bawang artinya Beruang. Penulisan keramat Gemol (beruang) kiranya telah merupakan satu bentuk adanya pengakuan pemerintah Belanda dan Jepang atas perjuangan prajurit Putinggelang dan Minak Raja Malaka dalam rangka mempertahankan keutuhan tanah pertapaan (Panaragan) kalau tidak lengkap dapat dimaknai mempertahankan keutuhan Tulang Bawang atas intevensi nenek moyang Lampung Abung.
Kesimpulan:
Dari hasil kajian Tim Arkeologi Bandung 2012 halaman 159 dinyatakan bahwa dilampung tidak pernah ditemukan bukti Arkeologis yang menunjukkan bahwa pernah hadir suatu kekuatan politik berupa kerajaan yang ada hanyalah bentuk sistim organisasi yang dikenal sebagai sistim pemerintahan adat marga dimana Residen Lampung tahun 1952 telah menetapkan perubahan peerintahan marga menjadi pemerintahan negeri.
Lampung disebut semboyan "Sang Bumi Ruwa Jurai" artinya tanah lampung dihuni oleh dua aliran budaya yaitu :
1. Aliran budaya Adat Pepadun yang menganut sistim Demokrasi. Artinya, kedudukan kepenyimbangan adat dapat dibagi-bagi atau disandang oleh siapapun sepanjang yang bersangkutan dapat memenuhi syarat yang ditentukan oleh hukum adat setempat.
Adat Pepadun mendiami aliran sungai Tulang Bawang, Way Seputih dan aliran Way Sekampung dari kuala sampai kehulu, istilah desanya disebut Anek dan Tiyuh, yang menggunakan istilah anek adalah Abung Siwo Mego dan Pubian Telu Suku. Sedangkan istilah tiyuh digunakan oleh Tulang Bawang, Way Kanan dan Sungkai, maka dapat diketahui bahwa Adat Pepadun yang demokrasi adalah adat budaya yang dipakai oleh Lampung Abung Siwo Mego, Pubian Telu Suku, Tulang Bawang, Way Kanan dan Sungkai.
2. Aliran budaya Adat Saibatin adalah adat budaya yang menganut sistim Kepenyimbangan Turun Menurun (menganut sistim kerajaan), tempatnya mendiami tepi pantai disepanjang mulai dari kota Liwa sampai kota Kalianda tidak menyebrang kuala Way Sekampung, orang saibatin disebut juga orang peminggir istilah desanya Pekon.
TULANG BAWANG
Tulang Bawang/Lampung sebelum hindu masuk ke Indonesia maka didaerah ini telah ada sesuatu pemerintahan yang demokratis dengan bentuk marga (Achjarani Alf,1954: 5-6). Maka dapat diketahui bahwa sebelum abad ke-4 M dilampung sudah ada pemerintahan yang demokrasi dengan bentuk Marga.
Dalam catatan Cina kuno misalnya disebut bahwa abad ke-4 M seorang peziarah agama Budha bernama Fa-Hien, dalam perjalananya menuju India pernah singgah dikerajaan To-Lang-Po-Hwang (Tulang Bawang) di selatan bahkan menurut ahli sejarah Dr.J.W Naarding diperkirakan pusat kerajaan Tulang Bawang terletak dihulu way Tulang Bawang antara Menggala dan Pagar Dewa kurang lebig dalam radius 20 Km dari pusat kota menggala saat ini.
Tulang Bawang sepanjang cerita dari mulut kemulut keturunnya akan mendewa-dewakan riwayat nenek moyang masing-masing setiap kampung, namun perlu diketahui dimasa pemerintahan Belanda sejak tanggal 22 November 1808 Lampung resmi menjadi jajahan Belanda yang kemudian pemerintah Belanda melegalkan pemerintahan Marga, dimana Tulang Bawang dibangun Pasirah Marga Buai Bulan, Pasirah Marga Tegamoan, dan Pasirah Marga Suay Umpu. Baru menyusul tahun 1914 berdirinya Pasirah Marga Aji.
Untuk itu Tulang Bawang disebut Mego Pak Tulang Bawang yang kemudian berdiri Pasirah Marga Buay Bulan Udik sehingga Tulang Bawang Empat Marga Lima Pasirah. Dalam hal ini dapat kita sadari dibangunnya pemerintahan Marga karena Lampung sebelum abad ke-4 M. Memang memiliki pemerintahan demokrasi yang berbentuk marga.
Untuk mengulas keberadaan Tulang Bawang dimasa lampau yang telah ada sebelu Hindu masuk ke Indonesia maka dari buku sejarah dapat diketahui bahwa tahun 683 M – 1377 M adalah masa kerajaan Sriwijaya Palembang sejak itu Tulang Bawang dibawah naungan kerajaan Sriwijaya, tahun 1293 M – 1522 M adalah masa kerajaan Majapahit Tulang Bawang Lampung dibawah naungan kerajaan Majapahit (Negara Kertagama oleh Prof. Dr. Slamat Mulyana 1979 Pupuh/Pasal XIIl). Selanjutnya mulai tahun 1550 M – 1692 M adalah masa kerajaan Banten dimana Tulang Bawang khususnya menjadi bawahan kerajaan Banten, yang selanjutnya Tulang Bawang Lampung jadi jajahan Belanda yang telah melegalkan pemerintahan Marga di Lampung dimana Lampung terdiri dari 62 marga teritorial.
Setelah Republik berdasarkan ketetapan Residen Lampung tahun 1952 pemerintahan Marga dihapus menjadi pemerintahan Negeri sehingga masyarakat Lampung kehilangan pemerintahan Adat Marga yang ada hanyalah Marga Adat/Genologis (berdasarkan keturunan), dimana istilah negeri adalah istilah yang terdapat dimasyarkat Minangkabau (Penjelasan Alinia II Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945).
Tahun 1997 Pemerintah melahirkan kabupaten yang bernama Tulang Bawang mekar dari kabupaten Lampung Utara, dalam hal ini dapat kita maknai bahwa pemerintah menginginkan lestarinya sejarah, adat, seni, dan budaya warisan kejayaan Tulang Bawang dimasa lampau.
warisan Tulang Bawang masa kejayaan mewariskan tiga warna payung agung antara lain, Payung Agung bewarna merah yang memang terdapat di Tulang Bawang sebagai ragam hias kepala suku, Payung Agung berwarna kuning sebagai hasil hubungan Tulang Bawang dengan Tiongkok sebagai ragam hias kepala Tiyuh, dan payung Agung berwarna putih sebagai hasil hubungan Tulang Bawang dengan kerajaan Banten sebagai ragam hias kepala Marga (Inmendagri Nomor 17, 1980 : 16-17 Tulang Bawang) dan tahun 1999 pemerintah melahirkan kabupaten Way Kanan, tinggal diwilayah aliran way kiri aliran kiri artinya aliran sesat.
Sejak lahirnya kabupaten Tulang Bawang untuk memperhatikan keberadaan Tulang Bawang masa lampau ada baiknya kita menelusuri way Tulang Bawang kehulu hingga situs batu berak Lampung Barat. Yang disebut way Tulang Bawang ialah mulai dari kuala (Dente Teladas) hingga ke Cakat Menasow – Pekalan Rarem (Pagar Dewa), dari Pagar Dewa hingga Pakuan Ratu disebut Way Kanan, dari Pakuan Ratu bercabang dua yang ke kanan disebut Way Umpu, dari Pakuan Ratu hingga Gunung Terang disebut Way Besai, dari Gunung Terang kehulu disebut Way Tenong. Dari pagar Dewa hingga Negeri Ujung Karang disebut Way Kiri, dari Negeri Ujung Karang kehulu disebut Way Rarem, cabangnya antara lain Way Sungkai dan Way Abung bermuara ke Way Rarem.
Rarem adalah bahasa Lampung abung yang artinya hilir (Bahasa Tulang Bawang = Lebow), bertalian dengan nama sungai yaitu Way Rarem dalam hal ini mengapa Way Hilir adanya di Hulu dan Rarem ditujukan kepada moyang yaitu Minak Ratu Guruh Malay yang bermakam ±100 Meter dihilir dam Way Rarem Pekurun Kota Bumi.
Tulang Bawang yang telah dijadikan nama kabupaten sebagai sebuah nama kekuasaan yang pernah ada di Lampung terdiri dari empat marga dan sejak tahun 1997 pula tim Arkeologi Bandung telah melakukan penelitian Arkeologi disepanjang aliran Way Tulang Bawang ke Hulu, sehingga dinyatakan bahwa sebutan Tulang Bawang sangat mungkin untuk Benteng Sabuk. Keberlangsungan aktivitas masa lalu di Benteng Sabuk terjadi dalam dua fase, fase pertama berkisar pada abad ke-3 dan fase kedua pada abad ke-7 hingga ke-17, diantara kedua fase ini terdapat masa kemunduran (Mosaik Arkeologi, 2003 : 109-110), maka dalam hal ini kita mengkaji keberadaan Tulang Bawang diperlukan kajian historis masyarakat adat marga buay bulan udik tepatnya di Tiyuh Gunung Katun Tanjungan sebagai salah satu silsilah Putri Bulan yang menurunkan masyarakat Gunung Katun Tanjungan, sebagai penguasa Benteng Sabuk Bujung Menggalo yang kemudian masyarakatnya mendirikan Menggala ibukota kabupaten Tulang Bawang kemudian mendirikan Menggala Mas dihilir Panaragan.
Dari buku kedatuan di Gunung Keratuan di Muara 1988 oleh Abdullah A Subing BA halaman 19 disebutkan bahwa Datu Dipuncak bersama empat orang anaknya dan seorang anak angkatnya bernama Bulan serta para pengikutnya dalam perjalanan perpindahan mereka sampai dan berhenti di Canguk Raccak dekat Way Rarem, maka dapat diketahui bahwa Putri Bulan yang menurunkan masyarakat adat Buay Bulan Tulang Bawang adalah anak angkat Datu Dipuncak, empat orang anak Datu Dipuncak adalah Unyai gelar Minak Trio Deso, Unyi, Subing dan Uban, untuk Putri Bulan menikah dengan KunTunggal atau Junjungan atau Ki Buyut Suro Menggolo dari Jawa yang keturunannya mendirikan tiyuh Gunung Katun Tanjungan, dimana kata Katon artinya dalam bahasa Jawa yaitu kelihatan (Sandra Tari Putri Bulan TMII, 2005).
Dalam riwayat Marga Buay Bulan terdapat nama moyang Minak Kemala Kota bersahabat dengan Minak Trio Deso Marga Buay Nunyai Abung Siwo Mego, maka dimasa kedua moyang tersebut yang berkuasa dihulu sungai adalah Minak Trio Deso dan yang dihilir adalah Minak Kemala Kota. Dalam hal ini terlihat adanya istilah desa dan kota dalam istilah Jawa maka dapat diduga masa inilah adalah masa kerajaan Majapahit Jawa Timur. Dimasa Minak Kemala Kota dan Minak Trio Deso datanglah Minak Ratu Guruh Malay atau Moyang Rarem, masuk ke Tulang Bawang menemui Minak Kemala Kota mendapat tempat yang disebut Bujung Malay dan moyang Minak Ratu Guruh Malay bermakam diwilayah Lampung Abung dam Way Rarem. Keturunannya adalah masyarakat adat Gedung Ratu dan Gunung Katun Malay Marga Buay Bulan artinya keturunan Minak Ratu Guruh Malay menyatu dengan keturunan Putri Bulan.
Minak Kemala Kota menurunkan Tuan Rio Nyembang Luih, kemudian menurunkan Minak Kemala Puta, kemudian menurunkan Minak Sendang Belawan yang bermakam ditepi Benteng Sabuk Gunung Katun Tanjungan, kemudian menurunkan Minak Rio Bacau, Minak Rio Mas, dan Minak Temenggung, Minak kemala kota selain menurunkan Tuan Rio Nyembang Luih juga yang disebut Senamo dan Bulan, Senamo menikah dengan Moyang Runjung gelar Minak Tabu Gayaw menurunkan Tuan Rio Mangku Bumi di Pagar Dewa mewarisi Tanah, Tuan Rio Tengah di Menggala mewarisi senjata dan Tuan Rio Sanak di Panaragan mewarisi Emas. (Hi. Assa’ih Akip,1976:6).
Dimasa Tuan Rio Mangku Bumi Pagar Dewa kekuasaan Minak Kemala Kota (Buay Bulan) pindah ke Tuan Rio Mangku Bumi (Pagar Dewa) Marga Tegamoan, dimasa Tuan Rio Mangku Bumi, Tuan Rio Mangku Bumi pernah menyerang Palembang dengan panglima perangnya Minak Tebesu Rawang dan Minak Cekay dilangik, Penyerangan ini Tuan Rio Mangku Bumi tertawan di Palembang dan pembelaannya dilakukan oleh anaknya Minak Kemala Bumi. Tuan Rio Sanak di Panaragan menurunkan Minak Indah Minak Mekedum dan Minak Raja Ratu, dimasa Minak Kemala Bumi Pagar Dewa beliau mengajak tokoh dari Way Kanan, dari Sungkai Bunga Mayang dan dari Abung menghadap kerajaan Banten, sekembalinya dari kerajaan Banten keempat orang tersebut mendapat gelar sebagi berikut:
1. Minak Kemala Bumi dari Pagar Dewa Tulang Bawang mendapat gelar Adipati Prajurit (Adipati=Bupati)
2. Dari Way Kanan mendapat gelar adipati amangkurat
3. Dari Sungkai mendapat gelar Adipati Wira Bumi
4. Dari abung Sewo Mego yaitu Minak Paduka mendapat gelar adipati Juru Mumbang.
Minak Peduka adalah silsilah keturunan dari Datu Dipuncak, menurunkan Minak Trio Deso, Menurunkan Minak Penatih Tuho, Menurunkan Minak Semalasem, Minak Semelasem menikah dengan putri minak sutan karta Buay Bulan menurunkan minak Paduka yang bergelar adipati juru mumbang dari kerajaan Banten.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa dimasa empat adipati diatas masyarakat Adat Lampung Pepadun diperintah oleh empat adipati dimasa Islam dimana Tulang Bawang masa kerajaan Banten ada ditangan Adipati Prajurit atau Minak Pati Prajurit, sedangkan masa Hindu Majapahit Tulang Bawang berada ditangan Minak Kemala Kota Marga Buay Bulan. Dan jangan lupa bahwa sebelum disebut Pagar Dewa wilayah tersebut disebut Cakat Menaso-Pekalan Rarem. Pekalan bahasa Tulang Bawang adalah tempat mandi, sedangkan Rarem ditujukan pada Minak Ratu Guruh Malay, maka dapat diketahui bahwa sebelum adanya pemukiman Pagar Dewa wilayah tersebut tempat mandi Minak Ratu Guruh Malay.
Dimasa empat adipati tersebut diatas terjadi peristiwa Minak Indah bin Tuan Rio Sanak Panaragan tewas oleh senjata tombak Minak Paduka Nunyai, kemudian kepala Minak Indah dipenggal dirayakan sebagai tanda kemenangan Abung Siwo Mego Pubian Telu Suku hadir dalam perayaan 18 Kebuayan yaitu:
Abung Siwo Mego
1. Buay Unyai
2. Buay Unyi
3. Buay Subing
4. Buay Uban
5. Buay Bulan
6. Buay Beliuk
7. Buay Kunang
8. Buay Selagai
9. Buay Anak Tuha
10. Buay Nyerupa Way Seputih
Pubian Telu Suku
11. Suku Menyerakat
12. Suku Tumbo Pupus
13. Suku Buku Jadi
14. Sumbai Perjo (Sungkai)
15. Sumbai Pemuku (Way Kanan)
16. Sumbai Bahuga (Way Kanan)
17. Sumbai Tegamoan (Tulang Bawang)
18. Sumbai Suway Umpu (Tulang Bawang)
Catatan suatu saat Buai Bulan dikucilkan dari Abung Siwo Mego, kedudukannya diabung diduduki oleh Buay Nyerupa Way Seputih, Buay Bulan menyatu dengan Sumbai Tegamoan dan Suay Umpu di Tulang Bawang.
Minak Indah tewas karena dianggap sombong dan melanggar adat, pada saat orang akan meminang anak gadisnya Minak Indah mengajukan syarat si Peminang harus menyerahkan Emas sberat badan gadis yang bersangkutan.
Pada saat pesta merayakan kemenangan berlangsung kepala Minak Indah berhasil direbut kembali oleh Prajuri Putinggelang dan Minak Raja Malaka kemudian kepala Minak Indah dimakamkan di Panaragan. Sejak itu, Panaragan tempat bertapa diwilayah Way Kiri Tulang Bawang dijadikan pemukiman oleh keturunan moyang-moyang sebagai berikut:
1. Suku adat Tepuk Darat, moyang asalnya Minak Indah, Minak Rio Begeduh, dan Alam Dawer.
2. Suku adat Tepuk Leban moyang asalnya Minak Mekedum dan Minak Raja Ratu.
3. Suku adat Bujung moyang asalnya Minak Sang Menteri, seasal dengan moyang Bandar Dewa, Minak Sang Menteri adik Minak Patih Prajurit Pagar Dewa.
4. Suku adat Lambow moyang asalnya Minak Raja Malaka
5. Suku adat Tepuk Gabow moyang asalnya Prajurit Putinggelang.
Dimana Minak Raja Malaka bermakam ditepi danau lambu Pagar Dewa Way Kanan, sedangkan Prajurit Putinggelang bermakam diwilayah Bujung Malay Gunung Katun Malay yang disebut Keramat Munggu. Maka dapat diduga pada masa hidupnya Minak Raja Malaka dan Prajurit Putinggelang danau lambu Way Kanan menuju Bujung Malay Gunung Katun Malay (Marga Tegamoan-Marga Buay Bulan) merupakan radius inti bagi minak Raja Malaka dan Prajurit Putinggelang.
Keramat Munggu terdiri dari makam moyang Prajurit Putinggelang, Minak Meretah Dibumi dan Minak Kemala Adam bin Minak Ratu Guruh Malay, lebih jelasnya dimasa Minak Meretah Dibumi bin Minak Kemala Adam bin Minak Ratu Guruh Malay datang tujuh Prajurit yaitu:
1. Prajurit Ngelah Kelah berkedudukan di Sukadana Sungkai
2. Prajurit Tegi Balang berkedudukan di Negeri Ujung Karang
3. Prajurit Mecak Padan (berkedudukan di Karta)
4. Prajurit Mas Cacap (berkedudukan di Karta)
5. Prajurit Tejang Tanggai (berkedudukan di Karta)
6. Prajurit Tejang Buwok berkedudukan di Gunung Katun Malay
7. Prajurit Putinggelang berkedudukan di Panaragan.
Dari ketujuh prajurit tersebut diatas yang bermakam diwilayah Bujung Malay yaitu Minak Ratu Guruh Malay pemberian Minak Kemala Kota adalah Prajurit Putinggelang, maka dapat diduga Prajurit Putinggelang memiliki nilai tambah apabila dibandingkan dengan prajurit lainnya.
Adapun perjuangan prajurit Putinggelang selain meletakkan makam Minak Indah di Panaragan bersama Minak Raja Malaka juga telah berjuang mempertahankan Benteng Sabuk pusat Tulang Bawang bersama Minak Meretah Dibumi atas intervensi nenek moyang Gunung Terang. (Jelajah Masalalu, 2002: 86-101) tentang Hubungan Fungsional Situs Benteng Sabuk, Benteng Prajurit Putinggelang dan Keramat Gemol).
Dimasa pemerintahan Belanda dan Jepang terbitlah Peta Sumatera Selatan lembar 30 yang berjudul Gedung Ratu Tahun 1915, 1930, dan 1942. Tampak jelas dalam tiga peta tersebut ternyata makam Minak Indah Panagaran yang tewas oleh Tombak Minak Paduka Nunyai beberapa abad silam ditulis bukan keramat Minak Indah tapi ditulis Keramat Gemol, Gemol bahasa Tulang Bawang artinya Beruang. Penulisan keramat Gemol (beruang) kiranya telah merupakan satu bentuk adanya pengakuan pemerintah Belanda dan Jepang atas perjuangan prajurit Putinggelang dan Minak Raja Malaka dalam rangka mempertahankan keutuhan tanah pertapaan (Panaragan) kalau tidak lengkap dapat dimaknai mempertahankan keutuhan Tulang Bawang atas intevensi nenek moyang Lampung Abung.
Kesimpulan:
Dari hasil kajian Tim Arkeologi Bandung 2012 halaman 159 dinyatakan bahwa dilampung tidak pernah ditemukan bukti Arkeologis yang menunjukkan bahwa pernah hadir suatu kekuatan politik berupa kerajaan yang ada hanyalah bentuk sistim organisasi yang dikenal sebagai sistim pemerintahan adat marga dimana Residen Lampung tahun 1952 telah menetapkan perubahan peerintahan marga menjadi pemerintahan negeri.
Posting Komentar untuk "Sepenggal Sejarah Lampung"