Timor Timur 1975-1999
Timor Timur 1975-1999 adalah daerah kompetisi naik pangkat bagi para perwira militer. Perang yang diciptakan oleh operasi intelijen Opsus pimpinan Jendral Ali Moertopo di Timor Timur hanyalah kesenangan ideologis dari kumpulan jendral di Jakarta untuk memuaskan psikis mereka yang ditakut-takuti oleh hantu komunisme yang ditiup-tiupkan Amerika Serikat.
Perang tak berkesudahan di Timor Timur, tidak menciptakan suatu beban psiko-historis bagi para jendral tersebut, selain kebanggaan mengelus-elus lencana penghargaan dan kenaikan pangkat. Dunia para jendral Orde Baru yang menciptakan perang itu sendiri, berkebalikan dengan sisi-sisi kehidupan prajurit yang dengan terpaksa, dengan alasan yang sulit dipahami, untuk mengorbankan selembar nyawa mereka di bawah demagogi mengabdi tanah air dan negara.
Mengamati perang di Timor Timur tidaklah cukup dengan hanya mengangkat kebrutalan ABRI di sana, tapi juga harus dilihat beban psikologis yang harus dihadapi seorang prajurit sebagai manusia biasa. Bagi rakyat Indonesia bukan hanya nasib rakyat Timor Timur yang menjadi korban perang yang masih gelap, tapi juga nasib ribuan prajurit yang dikirim ke sana.
seperti pemerintah di Amerika Serikat yang harus bertanggungjawab atas pengorbanan para prajurit untuk ambisi perang dingin di Vietnam di hadapan rakyatnya. Pemerintah Indonesia yang tertutup, tidak pernah mengumumkan tentang jumlah korban dari para prajurit di sana. Sikap tertutup ini justru memberikan suatu fakta bahwa rezim orba ingin menyembunyikan segala hal yang menyangkut korban perang di Timor Timur dari pihaknya, meskipun itu adalah para prajurit yang mereka kirim sendiri. Bagaimanakah perlakukan para penguasa militer yang menciptakan perang di Timor Timur memperlakukan para prajuritnya di sana? Di Jakarta, para jendral dan diplomat hanya sibuk menangkis kritikan dunia internasional jadi tidak sempat memikirkan nasib para prajurit yang ada di sana. Menurut Letkol Soebijanto, seorang perwira yang berani menolak untuk dikirm berperang di Timor Timur, “ABRI yang sudah ke Timor Timur itu, ya keceblok, terperangkap jatuh, sudah terlanjur masuk lumpur", begitu
Perang tak berkesudahan di Timor Timur, tidak menciptakan suatu beban psiko-historis bagi para jendral tersebut, selain kebanggaan mengelus-elus lencana penghargaan dan kenaikan pangkat. Dunia para jendral Orde Baru yang menciptakan perang itu sendiri, berkebalikan dengan sisi-sisi kehidupan prajurit yang dengan terpaksa, dengan alasan yang sulit dipahami, untuk mengorbankan selembar nyawa mereka di bawah demagogi mengabdi tanah air dan negara.
Mengamati perang di Timor Timur tidaklah cukup dengan hanya mengangkat kebrutalan ABRI di sana, tapi juga harus dilihat beban psikologis yang harus dihadapi seorang prajurit sebagai manusia biasa. Bagi rakyat Indonesia bukan hanya nasib rakyat Timor Timur yang menjadi korban perang yang masih gelap, tapi juga nasib ribuan prajurit yang dikirim ke sana.
seperti pemerintah di Amerika Serikat yang harus bertanggungjawab atas pengorbanan para prajurit untuk ambisi perang dingin di Vietnam di hadapan rakyatnya. Pemerintah Indonesia yang tertutup, tidak pernah mengumumkan tentang jumlah korban dari para prajurit di sana. Sikap tertutup ini justru memberikan suatu fakta bahwa rezim orba ingin menyembunyikan segala hal yang menyangkut korban perang di Timor Timur dari pihaknya, meskipun itu adalah para prajurit yang mereka kirim sendiri. Bagaimanakah perlakukan para penguasa militer yang menciptakan perang di Timor Timur memperlakukan para prajuritnya di sana? Di Jakarta, para jendral dan diplomat hanya sibuk menangkis kritikan dunia internasional jadi tidak sempat memikirkan nasib para prajurit yang ada di sana. Menurut Letkol Soebijanto, seorang perwira yang berani menolak untuk dikirm berperang di Timor Timur, “ABRI yang sudah ke Timor Timur itu, ya keceblok, terperangkap jatuh, sudah terlanjur masuk lumpur", begitu