Ini tentang bahasa melayu nemu di google Part 3
Sambungan bagian 3
Maling ayam negeri, untuk seekor
kembalikan tiga…”
“…Maling telur ayam, itik, merpati dipukul tujuh pukulan, lima pukulan oleh yang mergokin, dua pukulan dari yang punya unggas, dan mukanya diusap tai ayam abis itu. Kalau tidak dipenuhi, dendanya dua setengah mas”
Sadis yeeeeh, kebayang gak lo 700 tahun yang lalu kalo ketahuan maling ayam digebukin dulu habis itu mukanya ditemplokin kotoran ayam?? Huahaha…Okay, sekarang kita harus beralih ke bahasa yang lebih modern lagi yaitu Bahasa Melayu Klasik.
4. Bahasa Melayu Klasik (1400 – 1800 an)
Sebelum kita lanjut, ada hal penting yang harus lo ketahui supaya bisa gampang ngebedain antara Bahasa Melayu Kuna, Klasik, dan Modern. Jadi intinya, perbedaan yang paling mencolok dari ketiga bahasa ini adalah penyerapan kata-kata dari bahasa asing yang berbeda-beda dan juga aksara yang dipake pas nulis.
Pada Melayu Kuna, seperti yang udah dijelasin di atas, banyak banget serapan dari bahasa Sanskerta dan menggunakan aksara Pallawa dan Pre-Nagari. Nah, pada bahasa Melayu Klasik, seiring dengan berkembangnya agama Islam di Nusantara, kata-kata serapan yang banyak diambil juga berasal dari bahasa Arab dan aksara Arab (yang waktu itu dikenal dengan aksara “Jawi”).
Ketika nanti Nusantara mulai kedatangan orang-orang Eropa, Bahasa Melayu juga mengalami transformasi besar-besaran dalam bentuknya yang terakhir yaitu Bahasa Melayu Modern. Nah gara-gara orang Eropa itu tadi, makanya yang dominan itu jadinya banyak kata serapan dari Portugis dan Belanda.Trus udah gitu aksaranya berubah jadi aksara Latin.
Oke sekarang kita lanjut bahas Bahasa Melayu Klasik. Kaya gimana sih emangnya? Jadi gini, Bahasa Melayu Klasik itu mengacu ke bahasa yang dipake oleh para pujangga Melayu pas jaman kesultanan-kesultanan di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di mulai dari ditemukannya Prasasti Trengganu sampe ke kisah-kisah hikayat Melayu dan karya-karya pujangga macem Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar Raniry.
Pada Bahasa Melayu Klasik, banyak banget kata-kata yang mirip dengan yang kita gunakan sekarang. Hal yang unik pada bahasa ini adalah: hampir seluruh kalimat yang nongol di syair, puisi, kisah-kisah dan naskah-naskah BERUPA KALIMAT PASIF. Selain itu, pujangga-pujangga Melayu jaman klasik kayaknya kurang afdol kalo pingin ngomong sesuatu tapi gak panjang. Mereka tuh zaman dulu kalo nguomong puaanjaaang baangeet. Nih gue kasih contoh satu:
“Maka apabila dibawalah akan mereka itu ke penghadapan Tajul Muluk, demi terpandang akan anak si peladang itu, mesralah ke dalam hatinya, diberinya wang yang tiada berhisab banyaknya serta disuruh perbela akan dia baik-baik.”
Ga tau deh tuh orang biasa ngomongnya juga pada belibet kaya gitu atau cuma pujangga-pujangga doang, tapi ya memang begitulah ciri tersendiri bahasa Melayu Klasik. Satu lagi ciri unik dari Bahasa Melayu Klasik adalah penggunaan kata-kata sambung yang mungkin udah langka di jaman sekarang, macam: Syahdan, Alkisah, Hatta, Kata Sahibul Hikayat, dan sebagainya.
Nah, sekarang gue mau kasih contoh dua buah naskah Melayu Klasik yang beda jaman, sekaligus ngasih lo gambaran perubahan yang terjadi di dalam Bahasa Melayu Klasik itu sendiri. Ada dua naskah yang bakal kita bahas yaitu Prasasti Terengganu (1300 an) dan Kitab Bustan As Salatin (Bustanus Salatin) karya Nuruddin Ar Raniry (1636 M).
A. Prasasti Terengganu (±1300 M)
Replika prasasti trengganu di National Historical Museum Kuala Lumpur.
Ditemukan di daerah Terengganu, Malaysia. Prasasti Terengganu ini adalah prasasti yang pertama menggunakan aksara Jawi, dan juga prasasti pertama yang nyeritain bagaimana Islam diajarkan di Nusantara (dalam hal ini Semenanjung Malaya). Karena ditulis pas abad 14M, jangan kaget kalo bahasanya masih banyak pake kata-kata serapan dari Sanskerta. Uniknya lagi, masyarakat Melayu waktu itu menggunakan frase “Dewata Mulia Raya” sebagai frase pengganti “Allah SWT”, tetapi tetap make kata “Rasul Allah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallama” sebagai sebutan Muhammad SAW. Jadi gini nih ki
Maling ayam negeri, untuk seekor
kembalikan tiga…”
“…Maling telur ayam, itik, merpati dipukul tujuh pukulan, lima pukulan oleh yang mergokin, dua pukulan dari yang punya unggas, dan mukanya diusap tai ayam abis itu. Kalau tidak dipenuhi, dendanya dua setengah mas”
Sadis yeeeeh, kebayang gak lo 700 tahun yang lalu kalo ketahuan maling ayam digebukin dulu habis itu mukanya ditemplokin kotoran ayam?? Huahaha…Okay, sekarang kita harus beralih ke bahasa yang lebih modern lagi yaitu Bahasa Melayu Klasik.
4. Bahasa Melayu Klasik (1400 – 1800 an)
Sebelum kita lanjut, ada hal penting yang harus lo ketahui supaya bisa gampang ngebedain antara Bahasa Melayu Kuna, Klasik, dan Modern. Jadi intinya, perbedaan yang paling mencolok dari ketiga bahasa ini adalah penyerapan kata-kata dari bahasa asing yang berbeda-beda dan juga aksara yang dipake pas nulis.
Pada Melayu Kuna, seperti yang udah dijelasin di atas, banyak banget serapan dari bahasa Sanskerta dan menggunakan aksara Pallawa dan Pre-Nagari. Nah, pada bahasa Melayu Klasik, seiring dengan berkembangnya agama Islam di Nusantara, kata-kata serapan yang banyak diambil juga berasal dari bahasa Arab dan aksara Arab (yang waktu itu dikenal dengan aksara “Jawi”).
Ketika nanti Nusantara mulai kedatangan orang-orang Eropa, Bahasa Melayu juga mengalami transformasi besar-besaran dalam bentuknya yang terakhir yaitu Bahasa Melayu Modern. Nah gara-gara orang Eropa itu tadi, makanya yang dominan itu jadinya banyak kata serapan dari Portugis dan Belanda.Trus udah gitu aksaranya berubah jadi aksara Latin.
Oke sekarang kita lanjut bahas Bahasa Melayu Klasik. Kaya gimana sih emangnya? Jadi gini, Bahasa Melayu Klasik itu mengacu ke bahasa yang dipake oleh para pujangga Melayu pas jaman kesultanan-kesultanan di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di mulai dari ditemukannya Prasasti Trengganu sampe ke kisah-kisah hikayat Melayu dan karya-karya pujangga macem Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar Raniry.
Pada Bahasa Melayu Klasik, banyak banget kata-kata yang mirip dengan yang kita gunakan sekarang. Hal yang unik pada bahasa ini adalah: hampir seluruh kalimat yang nongol di syair, puisi, kisah-kisah dan naskah-naskah BERUPA KALIMAT PASIF. Selain itu, pujangga-pujangga Melayu jaman klasik kayaknya kurang afdol kalo pingin ngomong sesuatu tapi gak panjang. Mereka tuh zaman dulu kalo nguomong puaanjaaang baangeet. Nih gue kasih contoh satu:
“Maka apabila dibawalah akan mereka itu ke penghadapan Tajul Muluk, demi terpandang akan anak si peladang itu, mesralah ke dalam hatinya, diberinya wang yang tiada berhisab banyaknya serta disuruh perbela akan dia baik-baik.”
Ga tau deh tuh orang biasa ngomongnya juga pada belibet kaya gitu atau cuma pujangga-pujangga doang, tapi ya memang begitulah ciri tersendiri bahasa Melayu Klasik. Satu lagi ciri unik dari Bahasa Melayu Klasik adalah penggunaan kata-kata sambung yang mungkin udah langka di jaman sekarang, macam: Syahdan, Alkisah, Hatta, Kata Sahibul Hikayat, dan sebagainya.
Nah, sekarang gue mau kasih contoh dua buah naskah Melayu Klasik yang beda jaman, sekaligus ngasih lo gambaran perubahan yang terjadi di dalam Bahasa Melayu Klasik itu sendiri. Ada dua naskah yang bakal kita bahas yaitu Prasasti Terengganu (1300 an) dan Kitab Bustan As Salatin (Bustanus Salatin) karya Nuruddin Ar Raniry (1636 M).
A. Prasasti Terengganu (±1300 M)
Replika prasasti trengganu di National Historical Museum Kuala Lumpur.
Ditemukan di daerah Terengganu, Malaysia. Prasasti Terengganu ini adalah prasasti yang pertama menggunakan aksara Jawi, dan juga prasasti pertama yang nyeritain bagaimana Islam diajarkan di Nusantara (dalam hal ini Semenanjung Malaya). Karena ditulis pas abad 14M, jangan kaget kalo bahasanya masih banyak pake kata-kata serapan dari Sanskerta. Uniknya lagi, masyarakat Melayu waktu itu menggunakan frase “Dewata Mulia Raya” sebagai frase pengganti “Allah SWT”, tetapi tetap make kata “Rasul Allah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallama” sebagai sebutan Muhammad SAW. Jadi gini nih ki