Ini tentang bahasa melayu nemu di google Part 2
A. Prasasti Sojomerto (akhir 600 M)
Prasasti Sojomerto
Prasasti ini merupakan prasasti paling awal yang menandai dipakainya Bahasa Melayu di tulisan-tulisan di Nusantara. Sementara itu, Prasasti-prasasti Kutai dan Tarumanagara yang waktunya lebih lampau itu tidak ditulis dengan bahasa Melayu melainkan dengan bahasa Sansekerta. Ini dia kutipan isi Prasasti Sojomerto:
“…Dapunta Salendra namah Santanu namanda bapanda Bhadravati namanda ayanda Sampula namanda vininda…”
Kebayang ga kira-kira isi prasasti ini sebelom gue kasih tau artinya? Antara kebaca sama nggak yah? Hehehe.. aslinya artinya begini:
“Dapunta Salendra namanya, Santanu nama bapaknya, Bhadrawati nama ibunya, Sampula nama istrinya”.
Kebayang jelas kan sekarang? Ada yang menarik tuh satu, kata “bapak” dari jaman dulu tuh “bapa”, sedangkan “ibu” jaman dulu tuh malah “aya”. Selain itu, ada tiga kata yang masih kekal hingga sekarang yaitu: “nama”, “bapa”, dan “vini (atau bini)”. Kita juga bisa melihat bahwa akhiran –nya yang kita pake dalam bahasa modern sekarang (kemungkinan besar) adalah hasil perubahan dari akhiran –nda.
B. Prasasti Kedukan Bukit (683 M)
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti paling tua dari Kekaisaran Sri Wijaya ini dibuat atas perintah langsung dari kaisar pertamanya, yaitu Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Prasasti ini bercerita tentang keberhasilan Dapunta ketika mindahin pusat kerajaan dari Muara Tamuan ke Palembang. Beberapa kutipan menarik dari prasasti ini bakal gue kemukain di bawah ini:
“…Dapunta Hyang naik di sambau mangalap siddhayarta…”
“…Dapunta Hyang marlapas dari Minanga Tamwan mamawa jang bala dua laksa dangan dua ratus tsyara di sambau dangan jalan saribu tlu ratus sapuloh dua banyaknya…”
Nah, makin lama mulai makin kebaca kan kata-kata di atas? Terjemahannya yang bener kayak gini:
“…Dapunta Hyang naik sampan mengambil untung…”
“…Dapunta Hyang berlepas (berangkat) dari Muara Tamuan, membawa bala dua laksa (20 ribu) dengan dua ratus pawang di sampan (200 nahkoda) dan seribu tiga ratus sepuluh dua (1312) tentara jalan kaki (infanteri) banyaknya…”
Nah sekarang lo udah bisa mulai kebayang yah cara ngomong orang jaman dulu itu kayak gimana? Tapi jangan lo bayangin logatnya sama kaya kita sekarang yah. Kita semua yang pada beda provinsi aja bisa berbahasa Indonesia dengan logat yang beda-beda. Apalagi orang yang hidup di Sumatera kira-kira 1.300 tahun yang lalu?
C. Kitab Hukum Tanjung Tanah (1377 M)
Kitab yang juga sering disebut sebagai “Naskah Tanjung Tanah” ini bertarikh tahun 1377 M. Kitab ini dikeluarkan oleh Kerajaan Melayu untuk masyarakat Tanjung Tanah, Kerinci, yang waktu itu sedang berada di bawah pimpinan Raja Adityawarman. Sekadar info, Kerajaan Melayu waktu itu lagi jadi kerajaan bawahannya Kekaisaran Majapahit. Nah, yang bikin naskah ini jadi unik adalah karena naskah ini merupakan naskah tertua di Nusantara yang ditulis pake medium kertas. Berikut adalah kutipannya:
“…Maling kambing, maling babi danda sapuluh mas. Maling anjing lima mas, anjing basaja, maling anjing mawu sapuluh mas, anjing dipati puan sakian.
Anjing raja satahil sapaha
Maling hayam sahaya urang, bagi esa pulang dua
Hayam benua saikur pulang tiga…”
“…Maling telur hayam, itik, perapati, ditumbuk tujuh tumbuk lima tumbuk urang manangahi, dua tumbuk tuhannya, mukanya dihusap dangan tahi hayam tida tarisi sakian tengah tiga mas dandanya”
Jadi, isi dari Naskah Tanjung Tanah ini sebenernya hukuman-hukuman buat berbagai macem maling yang ada di Tanah Kerinci di bawah pemerintahan Adityawarman. Kira-kira bisa lo tebak ga tuh isi dari tulisan di atas? Hayoo dicoba duluu…
Nah, kalo udah pada nyerah nyoba, baru deh nih gue kasih tau terjemahannya. Makin tahun ke sini makin mirip sama Bahasa Indonesia yang kita pake sekarang yeh. Berikut ini terjemahannya:
“…Maling kambing, maling babi dendanya sepuluh mas. Maling anjing lima mas, kalau anjing biasa (kampung). Kalau anjing Mawu (terlatih) sepuluh mas, anjing dipati pun sekian
Anjing raja satu seperempat tahil.
Maling ayam.....
Bersambung part 3
Prasasti Sojomerto
Prasasti ini merupakan prasasti paling awal yang menandai dipakainya Bahasa Melayu di tulisan-tulisan di Nusantara. Sementara itu, Prasasti-prasasti Kutai dan Tarumanagara yang waktunya lebih lampau itu tidak ditulis dengan bahasa Melayu melainkan dengan bahasa Sansekerta. Ini dia kutipan isi Prasasti Sojomerto:
“…Dapunta Salendra namah Santanu namanda bapanda Bhadravati namanda ayanda Sampula namanda vininda…”
Kebayang ga kira-kira isi prasasti ini sebelom gue kasih tau artinya? Antara kebaca sama nggak yah? Hehehe.. aslinya artinya begini:
“Dapunta Salendra namanya, Santanu nama bapaknya, Bhadrawati nama ibunya, Sampula nama istrinya”.
Kebayang jelas kan sekarang? Ada yang menarik tuh satu, kata “bapak” dari jaman dulu tuh “bapa”, sedangkan “ibu” jaman dulu tuh malah “aya”. Selain itu, ada tiga kata yang masih kekal hingga sekarang yaitu: “nama”, “bapa”, dan “vini (atau bini)”. Kita juga bisa melihat bahwa akhiran –nya yang kita pake dalam bahasa modern sekarang (kemungkinan besar) adalah hasil perubahan dari akhiran –nda.
B. Prasasti Kedukan Bukit (683 M)
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti paling tua dari Kekaisaran Sri Wijaya ini dibuat atas perintah langsung dari kaisar pertamanya, yaitu Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Prasasti ini bercerita tentang keberhasilan Dapunta ketika mindahin pusat kerajaan dari Muara Tamuan ke Palembang. Beberapa kutipan menarik dari prasasti ini bakal gue kemukain di bawah ini:
“…Dapunta Hyang naik di sambau mangalap siddhayarta…”
“…Dapunta Hyang marlapas dari Minanga Tamwan mamawa jang bala dua laksa dangan dua ratus tsyara di sambau dangan jalan saribu tlu ratus sapuloh dua banyaknya…”
Nah, makin lama mulai makin kebaca kan kata-kata di atas? Terjemahannya yang bener kayak gini:
“…Dapunta Hyang naik sampan mengambil untung…”
“…Dapunta Hyang berlepas (berangkat) dari Muara Tamuan, membawa bala dua laksa (20 ribu) dengan dua ratus pawang di sampan (200 nahkoda) dan seribu tiga ratus sepuluh dua (1312) tentara jalan kaki (infanteri) banyaknya…”
Nah sekarang lo udah bisa mulai kebayang yah cara ngomong orang jaman dulu itu kayak gimana? Tapi jangan lo bayangin logatnya sama kaya kita sekarang yah. Kita semua yang pada beda provinsi aja bisa berbahasa Indonesia dengan logat yang beda-beda. Apalagi orang yang hidup di Sumatera kira-kira 1.300 tahun yang lalu?
C. Kitab Hukum Tanjung Tanah (1377 M)
Kitab yang juga sering disebut sebagai “Naskah Tanjung Tanah” ini bertarikh tahun 1377 M. Kitab ini dikeluarkan oleh Kerajaan Melayu untuk masyarakat Tanjung Tanah, Kerinci, yang waktu itu sedang berada di bawah pimpinan Raja Adityawarman. Sekadar info, Kerajaan Melayu waktu itu lagi jadi kerajaan bawahannya Kekaisaran Majapahit. Nah, yang bikin naskah ini jadi unik adalah karena naskah ini merupakan naskah tertua di Nusantara yang ditulis pake medium kertas. Berikut adalah kutipannya:
“…Maling kambing, maling babi danda sapuluh mas. Maling anjing lima mas, anjing basaja, maling anjing mawu sapuluh mas, anjing dipati puan sakian.
Anjing raja satahil sapaha
Maling hayam sahaya urang, bagi esa pulang dua
Hayam benua saikur pulang tiga…”
“…Maling telur hayam, itik, perapati, ditumbuk tujuh tumbuk lima tumbuk urang manangahi, dua tumbuk tuhannya, mukanya dihusap dangan tahi hayam tida tarisi sakian tengah tiga mas dandanya”
Jadi, isi dari Naskah Tanjung Tanah ini sebenernya hukuman-hukuman buat berbagai macem maling yang ada di Tanah Kerinci di bawah pemerintahan Adityawarman. Kira-kira bisa lo tebak ga tuh isi dari tulisan di atas? Hayoo dicoba duluu…
Nah, kalo udah pada nyerah nyoba, baru deh nih gue kasih tau terjemahannya. Makin tahun ke sini makin mirip sama Bahasa Indonesia yang kita pake sekarang yeh. Berikut ini terjemahannya:
“…Maling kambing, maling babi dendanya sepuluh mas. Maling anjing lima mas, kalau anjing biasa (kampung). Kalau anjing Mawu (terlatih) sepuluh mas, anjing dipati pun sekian
Anjing raja satu seperempat tahil.
Maling ayam.....
Bersambung part 3