PEMINDAHAN IBUKOTA KERAJAAN MELAYU DARI DHARMASRAYA KE SURUASO
MEMBONGKAR ADAT LAMO PUSAKO USANG – 91
Oleh: H. Aulia Tasman
Gelar Depati Muara Langkap
Jambi, 16 November 2014
PEMINDAHAN IBUKOTA KERAJAAN MELAYU DARI DHARMASRAYA KE SURUASO (cuplikan tulisan Uli Kozok, 2003).
Kertanagara tentu mengetahui akan ancaman yang berasal dari luar seperti pasukan Kublai Khan yang mulai mengganggu keten¬teraman di hampir seluruh Asia Tenggara, ditambah lagi dengan kehadiran pasukan Thai di semenanjung. Mengingat keadaan yang tidak aman lagi di daerah pesisir, pemindahan ibu kota ke pedalaman adalah tindakan yang bijaksana. Sekiranya benar bahwa ibu kota Malayu pindah dari Muara Jambi ke Dharmasraya di sekitar tahun 1286, dan mengingat pula bahwa pada tahun 1310 ibu kota Malayu su¬dah berada di Suruaso di lembah-lembah pegunungan Sumatra Barat, maka Dharmasraya hanya menjadi ibu kota selama kurang dari 25 tahun. Apa yang terjadi selama kurun waktu itu sehingga ibu kota Malayu dua kali dipindahkan?
Pada abad ke-14 Malayu, termasuk daerah pegunungan, sudah mempunyai kaitan erat dengan para saudagar Tamil. Nama Kerinci sendiri berasal dari bahasa Tamil dan dari nas-kah Tanjung Tanah kita ketahui bahwa pada abad ke-14 Kerinci dikenal sebagai Kurinci, yaitu nama sebuah bunga (Strobilanthes) yang hanya terdapat di pegunungan dan yang berkembang hanya sekali dalam dua belas tahun. Pengertian lain yang dimunculkan oleh saudagar Tamil menyebutkan nama Kurinci itu diartikan sebagai “Negeri indah di atas gunung” (..red). Menurut kosmologi orang Tamil, bumi Tamil dapat dibagi menjadi lima daerah, dan salah satu di antaranya, yaitu daerah pegunungan, dinamakan Kurinci sesuai dengan bunga yang khas di pegunungan Tamil (Singaravelu, 1966:19). B
saudagar Tamil memang sudah berpijak di pegunungan Malayu juga tampak dari prasasti Batu Bapahat yang mengandungi teks berbahasa Tamil dan Sansekerta yang ditemukan dekat Suruaso di Sumatra Barat (Casparis, 1990).
Tentu bukan kebetulan bahwa Dharmasraya terletak tepat di pinggiran jalan raya antara Padang dan Jambi! Kemungkinan besar bahwa pola hubungan darat yang ada sekarang tidak jauh berbeda dengan keadaan di zaman Adityawarman. Keadaan di pegunungan sangat ideal karena terlindung dari bahaya yang berasal dari luar, dan juga karena tanah yang subur di lembah-lembah Ranah Minangkabau merupakan dasar eko¬no¬mi yang kuat, terutama jika perdagangan internasional kurang menjanjikan sebagaimana halnya di abad ke-14.
Hasil hutan, pertanian, dan pertambangan diperdagangkan ke pantai timur melalui dua sungai yang berhulu di sekitar daerah Minangkabau dan bermuara di Selat Malaka, yaitu Batang Kuantan (Indragiri) dan Batang Hari. Menurut Dobbin (1983:61) emas diperdagangkan melalui Batang Kuantan dan Kampar Kiri, namun teori tersebut bertumpu pada keadaan di kemudian hari dan belum tentu mencerminkan keadaan di masa pemerintahan Akarendrawarman dan Adityawarman. Pada masa itu Suruaso, Dharmasraya dan Muara Jambi merupakan tiga pusat utama sehingga dapat kita simpulkan bahwa barang dagangan terutama diangkut melalui Batanghari.
Dua prasasti Adityawarman yang dipahat di batu dan yang terletak di atas sebuah selokan yang digali untuk mengairi daerah persawahan di sekitar Suruaso menunjukkan bahwa Adityawarman juga menaruh perhatian pada pekembangan pertanian. Di kedua pra¬sasti, yang satu berbahasa Tamil dan yang satu lagi berbahasa Sansekerta, dapat kita baca bahwa selokan tersebut telah dibangun sela¬ma masa pemerintahan Akarendrawarman, tetapi baru diselesaikan di bawah pemerintahan Adityawarman untuk mengairi “taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi” (Casparis, 1990:42).
Surawasa adalah nama tempat yang sekarang berubah menjadi Suruaso yang letaknya hanya beberapa kilometer dari Batusangkar dan Pagaruyung yang di kemudian hari menjadi ibu kota Minangkabau. Keadaan Suruaso di zaman Adityawarman pasti tidak jauh beda dengan keadaan yang sekarang. Tempatnya indah dengan peman¬dangan areal persawahan yang luas. Akarendra dan Adityawarman tentu sangat menyadari pentingnya sektor pertanian, akan tetapi tempat untuk mendirikan ibu kota juga dipilih karena tidak jauh dari Suruaso terletak daerah pertambangan emas.
Kerinci sudah lama dikenal sebagai daerah penghasil emas sehingga Valentijn menyebut Kerinci di 1726 sebagai penghasil emas terutama di Sumatra (namun keterangan tersebut mesti ditanggapi dengan hati-hati karena daerah lain juga sering disebut sebagai “penghasil utama”).
kita akan pertambangan emas di zaman dahulu sangat terbatas, tetapi seorang ahli geologi Belanda mencatat adanya 42 tambang emas di sekitar Kerinci yang dikerjakan secara tradisional dan mencapai kedalaman sampai 60 meter (Miksic, 1985:452). Tanah Datar di Sumatra Barat juga dikenal sebagai daerah penghasil emas, sementara sumber emas di Rejang-Lebong di zaman dahulu tidak ditambang melainkan didulang (Prodolliet dan Znoj, 1992:58).
Walaupun pemindahan ibu kota dari Muara Jambi ke Dharmasraya pada awalnya merupa-kan tindakan defensif untuk mencegah kemungkinan Malayu diserang pasukan Kublai Khan, dan untuk lari dari serangan bertubi-tubi dari pasukan Sukothai yang dilangsungkan oleh berbagai suku di perairan Selat Malaka, pada akhirnya pemindahan ke pedalaman juga membuka kesempatan yang mungkin tidak diduga semula. Dharmasraya yang letaknya persis di perbatasan antara Jambi dan Minangkabau merupakan tempat yang ideal untuk menggarap potensial yang terletak di pedalaman sehingga diambil langkah untuk memindahkan ibu kota Malayu ke Suruaso agar dengan mudah dapat mengontrol tambang emas yang terletak di sekitar Tanah Datar.
Dharmasraya dan Muara Jambi masih tetap memainkan peranannya yang masing-masing. Muara Jambi tetap menjadi pelabuhan tempat armada perdagangan Malayu berpangkal, tetapi Malayu tidak lagi menguasai Selat Malaka dan hanya menjadi salah satu dari berbagai pemain dalam perdagangan antar¬pulau dan antarbangsa. Dharmasraya tetap sangat penting sebagai pelabuhan tempat bongkar-muat barang, dan juga sebagai tempat untuk menjalin hubungan dengan negeri-negeri di sekitar seperti Kerinci. Sebagaimana tampak dari naskah Tanjung Tanah penguasa Dharmasraya jelas berada di bawah penguasa Suruaso karena yang pertama menyandang gelar Maharaja sementara baik Akarendrawarman maupun Adityawarman bergelar maharajadiraja.
Setelah ibu kota pindah ke Suruaso Malayu meraih puncak perkembangannya. Bahwa negerinya kaya-raya tampak dari puluhan prasasti yang hampir semuanya berada di dataran tinggi Minangkabau. Menurut De Casparis kerajaan Malayu di bawah Adityawarman malahan menjadi sebuah imperium yang menguasai seluruh Sumatra. Casparis di sini meru¬juk pada pupuh 13 Nagarakrtagama yang menyebut 24 negeri yang tunduk kepada bumi Malayu. Dalam hal ini penulis tidak sepenuhnya setuju dengan De Casparis karena dua alas¬an. Pertama, hal yang ditekankan dalam Nagarakrtagama adalah bahwa seluruh bumi Malayu tunduk pada Jawa Timur, dan yang dimaksud dengan bumi Malayu di sini kemungkinan besar bukan kerajaan Malayu melainkan pulau Sumatra pada umumnya. Kedua, sulit untuk mebayangkan bagaimana Malayu secara efektif dapat menguasai negara-negara di Aceh seperti Samudra Pasai yang pada awal akhir abad ke-13 telah memeluk agama Islam, dan menjadi salah satu pelabuhan terutama di perairan Selat Malaka. Menurut Hall selama abad ke-14 bagian selatan Sumatra tidak lagi memainkan peranan yang berarti dalam perdagangan internasional di Selat Malaka yang telah diambil alih oleh Lamuri dan Samudra Pasai (Hall, 1985:213).
Oleh: H. Aulia Tasman
Gelar Depati Muara Langkap
Jambi, 16 November 2014
PEMINDAHAN IBUKOTA KERAJAAN MELAYU DARI DHARMASRAYA KE SURUASO (cuplikan tulisan Uli Kozok, 2003).
Kertanagara tentu mengetahui akan ancaman yang berasal dari luar seperti pasukan Kublai Khan yang mulai mengganggu keten¬teraman di hampir seluruh Asia Tenggara, ditambah lagi dengan kehadiran pasukan Thai di semenanjung. Mengingat keadaan yang tidak aman lagi di daerah pesisir, pemindahan ibu kota ke pedalaman adalah tindakan yang bijaksana. Sekiranya benar bahwa ibu kota Malayu pindah dari Muara Jambi ke Dharmasraya di sekitar tahun 1286, dan mengingat pula bahwa pada tahun 1310 ibu kota Malayu su¬dah berada di Suruaso di lembah-lembah pegunungan Sumatra Barat, maka Dharmasraya hanya menjadi ibu kota selama kurang dari 25 tahun. Apa yang terjadi selama kurun waktu itu sehingga ibu kota Malayu dua kali dipindahkan?
Pada abad ke-14 Malayu, termasuk daerah pegunungan, sudah mempunyai kaitan erat dengan para saudagar Tamil. Nama Kerinci sendiri berasal dari bahasa Tamil dan dari nas-kah Tanjung Tanah kita ketahui bahwa pada abad ke-14 Kerinci dikenal sebagai Kurinci, yaitu nama sebuah bunga (Strobilanthes) yang hanya terdapat di pegunungan dan yang berkembang hanya sekali dalam dua belas tahun. Pengertian lain yang dimunculkan oleh saudagar Tamil menyebutkan nama Kurinci itu diartikan sebagai “Negeri indah di atas gunung” (..red). Menurut kosmologi orang Tamil, bumi Tamil dapat dibagi menjadi lima daerah, dan salah satu di antaranya, yaitu daerah pegunungan, dinamakan Kurinci sesuai dengan bunga yang khas di pegunungan Tamil (Singaravelu, 1966:19). B
saudagar Tamil memang sudah berpijak di pegunungan Malayu juga tampak dari prasasti Batu Bapahat yang mengandungi teks berbahasa Tamil dan Sansekerta yang ditemukan dekat Suruaso di Sumatra Barat (Casparis, 1990).
Tentu bukan kebetulan bahwa Dharmasraya terletak tepat di pinggiran jalan raya antara Padang dan Jambi! Kemungkinan besar bahwa pola hubungan darat yang ada sekarang tidak jauh berbeda dengan keadaan di zaman Adityawarman. Keadaan di pegunungan sangat ideal karena terlindung dari bahaya yang berasal dari luar, dan juga karena tanah yang subur di lembah-lembah Ranah Minangkabau merupakan dasar eko¬no¬mi yang kuat, terutama jika perdagangan internasional kurang menjanjikan sebagaimana halnya di abad ke-14.
Hasil hutan, pertanian, dan pertambangan diperdagangkan ke pantai timur melalui dua sungai yang berhulu di sekitar daerah Minangkabau dan bermuara di Selat Malaka, yaitu Batang Kuantan (Indragiri) dan Batang Hari. Menurut Dobbin (1983:61) emas diperdagangkan melalui Batang Kuantan dan Kampar Kiri, namun teori tersebut bertumpu pada keadaan di kemudian hari dan belum tentu mencerminkan keadaan di masa pemerintahan Akarendrawarman dan Adityawarman. Pada masa itu Suruaso, Dharmasraya dan Muara Jambi merupakan tiga pusat utama sehingga dapat kita simpulkan bahwa barang dagangan terutama diangkut melalui Batanghari.
Dua prasasti Adityawarman yang dipahat di batu dan yang terletak di atas sebuah selokan yang digali untuk mengairi daerah persawahan di sekitar Suruaso menunjukkan bahwa Adityawarman juga menaruh perhatian pada pekembangan pertanian. Di kedua pra¬sasti, yang satu berbahasa Tamil dan yang satu lagi berbahasa Sansekerta, dapat kita baca bahwa selokan tersebut telah dibangun sela¬ma masa pemerintahan Akarendrawarman, tetapi baru diselesaikan di bawah pemerintahan Adityawarman untuk mengairi “taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi” (Casparis, 1990:42).
Surawasa adalah nama tempat yang sekarang berubah menjadi Suruaso yang letaknya hanya beberapa kilometer dari Batusangkar dan Pagaruyung yang di kemudian hari menjadi ibu kota Minangkabau. Keadaan Suruaso di zaman Adityawarman pasti tidak jauh beda dengan keadaan yang sekarang. Tempatnya indah dengan peman¬dangan areal persawahan yang luas. Akarendra dan Adityawarman tentu sangat menyadari pentingnya sektor pertanian, akan tetapi tempat untuk mendirikan ibu kota juga dipilih karena tidak jauh dari Suruaso terletak daerah pertambangan emas.
Kerinci sudah lama dikenal sebagai daerah penghasil emas sehingga Valentijn menyebut Kerinci di 1726 sebagai penghasil emas terutama di Sumatra (namun keterangan tersebut mesti ditanggapi dengan hati-hati karena daerah lain juga sering disebut sebagai “penghasil utama”).
kita akan pertambangan emas di zaman dahulu sangat terbatas, tetapi seorang ahli geologi Belanda mencatat adanya 42 tambang emas di sekitar Kerinci yang dikerjakan secara tradisional dan mencapai kedalaman sampai 60 meter (Miksic, 1985:452). Tanah Datar di Sumatra Barat juga dikenal sebagai daerah penghasil emas, sementara sumber emas di Rejang-Lebong di zaman dahulu tidak ditambang melainkan didulang (Prodolliet dan Znoj, 1992:58).
Walaupun pemindahan ibu kota dari Muara Jambi ke Dharmasraya pada awalnya merupa-kan tindakan defensif untuk mencegah kemungkinan Malayu diserang pasukan Kublai Khan, dan untuk lari dari serangan bertubi-tubi dari pasukan Sukothai yang dilangsungkan oleh berbagai suku di perairan Selat Malaka, pada akhirnya pemindahan ke pedalaman juga membuka kesempatan yang mungkin tidak diduga semula. Dharmasraya yang letaknya persis di perbatasan antara Jambi dan Minangkabau merupakan tempat yang ideal untuk menggarap potensial yang terletak di pedalaman sehingga diambil langkah untuk memindahkan ibu kota Malayu ke Suruaso agar dengan mudah dapat mengontrol tambang emas yang terletak di sekitar Tanah Datar.
Dharmasraya dan Muara Jambi masih tetap memainkan peranannya yang masing-masing. Muara Jambi tetap menjadi pelabuhan tempat armada perdagangan Malayu berpangkal, tetapi Malayu tidak lagi menguasai Selat Malaka dan hanya menjadi salah satu dari berbagai pemain dalam perdagangan antar¬pulau dan antarbangsa. Dharmasraya tetap sangat penting sebagai pelabuhan tempat bongkar-muat barang, dan juga sebagai tempat untuk menjalin hubungan dengan negeri-negeri di sekitar seperti Kerinci. Sebagaimana tampak dari naskah Tanjung Tanah penguasa Dharmasraya jelas berada di bawah penguasa Suruaso karena yang pertama menyandang gelar Maharaja sementara baik Akarendrawarman maupun Adityawarman bergelar maharajadiraja.
Setelah ibu kota pindah ke Suruaso Malayu meraih puncak perkembangannya. Bahwa negerinya kaya-raya tampak dari puluhan prasasti yang hampir semuanya berada di dataran tinggi Minangkabau. Menurut De Casparis kerajaan Malayu di bawah Adityawarman malahan menjadi sebuah imperium yang menguasai seluruh Sumatra. Casparis di sini meru¬juk pada pupuh 13 Nagarakrtagama yang menyebut 24 negeri yang tunduk kepada bumi Malayu. Dalam hal ini penulis tidak sepenuhnya setuju dengan De Casparis karena dua alas¬an. Pertama, hal yang ditekankan dalam Nagarakrtagama adalah bahwa seluruh bumi Malayu tunduk pada Jawa Timur, dan yang dimaksud dengan bumi Malayu di sini kemungkinan besar bukan kerajaan Malayu melainkan pulau Sumatra pada umumnya. Kedua, sulit untuk mebayangkan bagaimana Malayu secara efektif dapat menguasai negara-negara di Aceh seperti Samudra Pasai yang pada awal akhir abad ke-13 telah memeluk agama Islam, dan menjadi salah satu pelabuhan terutama di perairan Selat Malaka. Menurut Hall selama abad ke-14 bagian selatan Sumatra tidak lagi memainkan peranan yang berarti dalam perdagangan internasional di Selat Malaka yang telah diambil alih oleh Lamuri dan Samudra Pasai (Hall, 1985:213).